Fakultas Syariah IAIN Pontianak Gelar Diskusi Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan Bersama Aparat Penegak Hukum, Akademisi, Organisasi Masyarakat, dan Organisasi Keagamaan

(fasya.iainptk.ac.id) Fakultas Syariah IAIN Pontianak bekerja sama dengan Indonesian Scholar Network on Freedom of Religion and Belief (ISFoRB), Indonesia Consortium for Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada, dan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada

menyelenggarakan kegiatan diskusi nasional dan peluncuran buku penafsiran Pasal 300-305 KUHP 2023 pada Kamis 23 Januari 2025. Acara tersebut dilaksanakan secara serentak di 7 (tujuh) kota besar dengan 9 (sembilan) perguruan tinggi, yakni Fakultas Hukum Universitas Jember, Fakultas Syariah IAIN Kediri, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera di Jakarta, dan UIN Bukittinggi.

Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui dua sesi. Sesi pertama adalah pemaparan dari tim penulis buku penafsiran, yakni Zainal Abidin Bagir, dosen ICRS Universitas Gadjah Mada, Dian Andriasari, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, dan Muhammad Choirul Rizal, dosen Fakultas Syariah IAIN Kediri. Adapun tim penanggap terdiri dari Prof Edward Omar Sharif Hiariej, Wakil Menteri Hukum Republik Indonesia, Yang Mulia Yohanes Priyana, M.H., Hakim Agung kamar Pidana Mahkamah Agung, Dr. Desy dari Kejaksaan Agung, Dr. Sri Wiyanti Eddyono, LL.M., Ph.D., dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Ivan Wagner, M.H., Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kalimantan Barat.  Sesi kedua adalah diskusi lokal bersama aparat penegak hukum, akademisi, organisasi masyarakat, dan organisasi keagamaan. 

Para peserta yang hadir adalah dari Kepolisian Resor Kota Pontianak, Kejaksaan Negeri Pontianak, Hakim Pengadilan Negeri Makassar, Dosen pada Fakultas Syariah IAIN Pontianak, Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Dosen Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti, LBH Kalimantan Barat, LBH Syariah Khatulistiwa, perwakilan MUI Kalimantan Barat, perwakilan FKUB Kota Pontianak, perwakilan FKUB Kalimantan Barat, perwakilan Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suar Asa Khatulistiwa (SAKA), Satu Dalam Perbedaan (SADAP), Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) Kalimantan Barat, Mitra Sekolah Masyarakat (Misem), Prodi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah IAIN Pontianak, dan Prodi Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah IAIN Pontianak.

Salah satu tim penulis, Moh. Fadhil, dosen Fakultas Syariah IAIN Pontianak menjelaskan bahwa, 
"Keberadaan buku ajar dan penafsiran ini penting untuk dicermati bersama yakni semangat yang ingin dilindungi adalah hak untuk beragama, bukan yang mayoritas dan agama yang diakui atau tidak. Tindak pidana ini seharusnya diimplementasikan secara ketat dan tidak untuk mengkriminalkan kelompok minoritas. Kami berharap ini menjadi panduan bagi aparat penegak hukum dan kami berharap semangat ultimum remedium dan restorative justice dapat dilakukan dalam menyelesaikan kasus-kasus ini di masa mendatang," ujarnya.

Sementara itu, Ketua LBH Kalimantan Barat, Ivan Wagner menegaskan bahwa penting juga aparat penegak hukum untuk mengubah cara pandangnya terhadap cara dan mekanisme dalam menghadapi kasus-kasus serupa. Dia menyoroti lemahnya pemahaman aparat penegak hukum terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan serta hak asasi manusia.

“Dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak ini adalah sesuatu yang harus dilindungi dan tidak boleh dikurangi dalam hal apapun. Buku ini sudah banyak menyampaikan bagaimana batas- batas yang jelas karena dalam beragama tidak boleh dikurangi, karena hakiki kita menjadi seorang manusia, hukum yang sempurna sekalipun yang menggunakan kembali adalah aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Diantara penegak hukum banyak pemahaman yang berbeda, hukumnya terus berbenah, tapi para penegak hukumnya masih kolonial, penting untuk para penegak hukum melihat permasalahan di Kalbar, seperti contoh kasus dahulu penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Sintang dan kasus Atong di Pontianak,” tegasnya.

Sementara itu Ketua Bidang Hukum MUI Kalimantan Barat, Agus Priyadi menjelaskan bahwa buku ini perlu lebih menjelaskan mengenai kejelasan pidananya, karena hal tersebut juga penting. 
“Buku ajar ini sudah luar biasa, akan memberikan pedoman, dan ini diprediksi untuk mahasiswa dan penegak hukum,  Tahun 2026 harus sudah ada kesamaan persepsi untuk menafsirkan hingga tidak berat dalam peradilan, ada kriteria harus diperjelas, kejelasan pidana ini denda atau pidana penjara,” ungkapnya.

Beberapa organisasi keagamaan yang hadir juga turut memberikan pandangan dan khususnya pada memperjelas konteks isu penodaan agama yang selama ini menjadi problem utamanya. Perwakilan FKUB Kalimantan Barat, Dr. Miskari mengapresiasi langkah penulis melakukan penafsiran ini, khususnya pada penguatan perlindungan kelompok minoritas. 
“Saya apresiasi karya ini karena relevan profesi saya juga, hasil ini sangat layak kita apresiasi, tapi tidak menutup kemungkinan banyak tafsir baru lagi sesuai keilmuannya misal filsafat pastinya pendekatan filsafat islam maka dari itu  hukuman itu tidak sama dengan berbagai daerah, apakah dalam kasus penulisan ini mengkhususkan yang beragama saja? Bagaimana seseorang yang tidak beragama. Seharusnya kita hadir kewajiban negara berama atau tidak tetap harus dilindungi, dalam buku harus ada tafsir untuk seseorang tidak beragama,” ungkapnya.

Setelah sesi pertama selesai, masing-masing perguruan tinggi melaksanakan sesi diskusi lokal bersama stakeholder lokal. Diharapkan hasil diskusi lokal tersebut dapat menyempurnakan pengerjaan akhir buku penafsiran Pasal 300-305 KUHP 2023 dan dapat segera diterbitkan pada Bulan Februari 2025. 

Sementara itu dari aparat penegak hukum, perwakilan Kepolisian Resor Kota Pontianak, Tri Sulistyono memberi saran pada penguatan definisi kepercayaan berikut memperkuat penjelasan mengenai bagaimana mengaplikasikan pada penganut kepercayaan. Senada dengan Tri Sulistyono, Abu Nawas dari MAHUPIKI Kalimantan Barat sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura menekankan pentingnya mendefinisikan kepercayaan itu karena hal ini tentu saja hal yang baru dalam penegakan hukum ke depan.
Diharapkan dari diskusi lokal ini dapat memiliki satu pemahaman persepsi yang kuat bagi para akademisi, aparat penegak hukum, organisasi masyarakat, dan organisasi keagamaan dalam mengambil peran penyelesaian kasus-kasus konflik agama dan tindak pidana terhadap agama melalui pendekatan restorative justice. Diharapkan juga seluruh peserta dapat memahami perspektif hak asasi manusia, khususnya kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menyelesaikan kasus-kasus ini di masa mendatang.

Editor: Ardiansyah