Dr. Ahmad Sofian, S.H.,M.A.: RUU PKS Masih Absurd, Karena Itu Perlu Rumusan dalam Revisi UU Perlindungan Anak untuk Memasukkan Tindak Pidana Eksploitasi
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak menggelar diskusi Kajian Seputar Isu-Isu Hukum, Sosial, dan Hak Asasi Manusia The Series (KASASI) #11 dengan tema “Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak: Problem, Solusi, dan Tantangan Formulasi Kebijakan” pada Jumat (19/11) bersama pemateri Dr. Ahmad Sofian, S.H.,M.A. seorang Dosen Hukum Pidana Binus University Jakarta sekaligus Sekretaris Jenderal Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHLIPIKI) yang juga pengelola Youtube Ahmad Sofian Law and Justice Channel. Kegiatan ini dimoderatori oleh Moh Fadil, M.H. selaku akademisi Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak.
Di awal materinya, Dr. Ahmad Sofian, S.H.,M.A. memperbandingkan pengertian yang membahas tentang kekerasan seksual dimulai dari pandangan World Health Organization (WHO) dan RUU PKS.
“Pengertian kekerasan seksual menurut WHO menurut saya cukup sederhana, intinya hanya terfokus pada kata pemaksaan sehingga jika dilakukan sukarela maka tidak termasuk kekerasan seksual. Didalam RUU PKS merincikan lebih luas lagi yaitu perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang, atau perbuatan lain terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, atau fungsi reproduksi secara paksa, menurut saya sebenarnya pengertian ini cukup sampai disitu saja, Kenapa saya memakai WHO untuk menjadi acuan perbandingan RUU PKS disini, karena sudah ada perdebatan diantara ahli-ahli hukum pidana untuk bisa menghasilkan definisi kekerasan seksual mengacu pandangan WHO, definisi di RUU PKS masih belum tuntas,” tuturnya.
Dr. Ahmad Sofian, S.H.,M.A. mengkhawatirkan jenis kekerasan seksual yang ada di RUU PKS yang tidak banyak memuat jenis kekerasan seksual dalam WHO, ia mengatakan bahwa RUU PKS masih belum rampung dan banyak kelemahannya.
“Banyak jenis kekerasan seksual yang dijelaskan WHO yaitu ada 11 jenis tapi tidak masuk dalam jenis kekerasan seksual dalam RUU PKS, RUU PKS hanya menjelaskan 9 jenis saja. Ini menjadi kekhawatiran bagi saya. Misal jika ada yang membeli seseorang dalam prostitusi dan secara sukarela, jika memakai RUU PKS tidak masuk kedalam kekerasan seksual tapi WHO melarangnya dalam jenis permintaan transaksi seksual. Di RUU PKS semua jenis kekerasan seksual hanya jika ada pemaksaan, jika secara sukarela tidak termasuk kekerasan seksual,” sambungnya.
Lebih lanjut Dr. Ahmad Sofian, S.H.,M.A. membandingkan beberapa dasar hukum positif yang mengatur kekerasan seksual yaitu dalam KUHP, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPD, dan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Ia juga menjelaskan perbedaan kekerasan seksual dan ekploitasi seksual.
“Kesimpulannya, RUU PKS dinilai mampu untuk mengatasi berbagai kekerasan seksual pada perempuan namun belum mampu mengatasi kekerasan seksual pada anak. Karena itu perlu rumusan dalam Revisi (ketiga) UU Perlindungan Anak untuk memasukkan tindak pidana eksploitasi seksual anak baik offline maupun online dengan mengadopsi bentu-bentuk ESA online,” simpulnya.
Dr. Ahmad Sofian, S.H.,M.A. memberikan pandangannya tentang Permendikbud yang menjadi kontroversi sekarang ini.
“Dalam Permendikbud menurut saya tidak ada yang baru, Permendikbud hanya memindahkan apa yang ada di KUHP. Permendikbud tidak bisa mengkriminalkan orang, paling hanya sanksi administratif, hanya UU dan Perda yang bisa mempidanakan bukan Permendikbud. Karena ini ranahnya kampus maka bisa masuk ke ranah KUHP 285/294/296. Jadi saya bilang tidak ada yang baru dalam Permendikbud hanya ranahnya saja yang di kampus. Yang jadi perdebatan dalam Permendikbud yaitu ‘dengan persetujuan’ apa karena melegalkan zina? loh di KUHP saja melegalkan itu. Bukan berarti saya pro Permendikbud, karena bagi saya tidak ada yang baru disitu,” tegasnya ketika menjawab pertanyaan salah satu peserta.
Dalam RUU PKS menjelaskan kekerasan seksual yang tidak dijelaskan oleh KUHP, namun masih banyak keabsurdan dan ketidakjelasan, dan banyak yang sulit untuk ditegakkan. Namun bukan berarti narasumber menolak RUU PKS ini. Permendikbud tidak bisa melegalkan norma suka sama suka didalam kampus, kalaupun ilegal tapi tidak ada sanksi dan paling bisa disanksi administratif, bisa dipidana dengan syarat tertentu jika salah satu pelaku sudah menikah dan itu masuk ranah KUHP, namun beda cerita jika keduanya yang melakukan belum menikah bahkan KUHP tidak bisa mempidanakan.
Penulis: Ika Ayuni Lestari
Editor: Ardiansyah