Program Studi Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhshiyyah) Fakultas Syariah IAIN Pontianak kembali melaksanakan review kurikulum tahap kedua pada Sabtu, 19 Desember 2020 bersama Ketua Umum Asosiasi Dosen Hukum Keluarga Islam (ADHKI) Indonesia, Prof. H. Khoiruddin Nasution, M.A. melalui kanal zoom meeting. Dalam kegiatan tersebut turut serta dihadiri Ketua Pengadilan Agama Sungai Raya, Bapak H.M. Kusen, M.A. para dosen homebase Prodi Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhshiyyah), dan para alumni Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhshiyyah). Dr. Dahlia Haliah Ma'u, M.H.I. selaku Kaprodi Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhshiyyah) menjelaskan bahwa review kurikulum tahap kedua ini merupakan lanjutan dari review kurikulum tahap pertama (Baca: Review Kurikulum Tahap Pertama Prodi HKI) sehingga hasilnya diharapkan dapat memutakhirkan kurikulum prodi yang sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan teknologi informasi.
Dr. Muhammad Hasan, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Pontianak menjelaskan sedikit sejarah penyusunan kurikulum prodi pada awalnya dilakukan pada Tahun 2014 yang masih berada di bawah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Pontianak. Kurikulum saat itu berbasis kompetensi yang mengacu pada KKNI. Kemudian dilakukan proses review di Tahun 2016 lengkap dengan rumusan capaian pembelajaran dan silabus di setiap mata kuliah. Namun, masih bias karena masih adanya mata kuliah di bidang ekonomi yang menyesuaikan dengan kurikulum fakultas pada masa itu. Lebih lanjut, Dekan berharap bahwa proses review kurikulum yang saat ini tengah berjalan dapat melahirkan kurikulum yang mutakhir dan kompeten bagi calon alumni agar menunjang profil lulusan Prodi Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhshiyyah). Selain itu memberi dampak yang sangat besar bagi kebutuhan akreditasi di masa mendatang.
Kegiatan ini dipandu oleh Ketua Prodi Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhshiyyah), Dr. Dahlia Haliah Ma'u, M.H.I. bersama ketua ADHKI Indonesia, Prof. H. Khoiruddin Nasution, M.A. selaku reviewer kurikulum. Adapun poin-poin penting yang direview oleh ketua ADHKI Indonesia adalah pertama, Visi, Misi, Tujuan, Sasaran (VMTS) prodi harus bersinergi/sinkron dengan VMTS fakultas dan institut. VMTS harus jelas indikatornya terkait dengan kejelasan VMTS, kerealistikan VMTS diukur dalam ketercapaian serta melibatkan banyak pihak-pihak terkait. VMTS kemudia di breakdown ke dalam kurikulum yang mendukung VMTS tersebut.
Kedua, mata kuliah dalam kurikulum prodi sudah seharusnya menggunakan pendekatan dengan model interdisipliner atau model studi integratif-interkonektif.
Ketiga, mata kuliah disusun oleh konsorsium keilmuan dosen dan setiap pimpinan menyampaikan ke semua dosen mengenai pemahaman dan ketercapaian terhadap VMTS yang akan dicapai sehingga dosen mengelaborasi ke dalam rencana pembelajaran semester bersama konsorsium keilmuan yang ditandatangani oleh para dosen sesuai dengan konsorsiumnya sehingga siapapun dosen yang mengajar harus mengacu pada rencana pembelajaran semester yang telah disahkan tersebut.
Keempat, kurikulum harus bersifat dinamis dengan menyesuaikan perkembangan zaman dan teknologi informasi. Hal ini mengacu pada hukum yang cenderung dinamis dan terus mengalami perubahan. Aspek bahasa juga menjadi penguat kompetensi bagi para mahasiswa. Selain itu, perkembangan teknologi informasi sudah masuk ke ranah hukum, misalnya direktori putusan terkait yurisprudensi. Oleh karena itu ditekankan bahwa mata kuliah harus berorientasi pada kompetensi untuk masa depan alumni
Kelima, perlu memutakhirkan perkembangan mata kuliah atau pendekatan-pendekatan interdisipliner misalnya psikologi hukum, psikologi keluarga, mata kuliah berprespektif gender dan pendekatan-pendekatan lainnya yang punya potensi melahirkan kurikulum yang integratif-interkonektif.
Setelah Prof. H. Khoiruddin Nasution, M.A. menyampaikan hasil reviewnya, H.M. Kusen, M.A. selaku Ketua Pengadilan Agama Sungai Raya sangat mengapresiasi kegiatan kurikulum ini. Menurut H.M. Kusen, M.A. mata kuliah ilmu hukum yang sudah ada harus tetap dipertahankan agar lulusan prodi dapat bekerja di berbagai instansi hukum manapun. Beberapa poin yang perlu ditambahkan sebagai saran adalah pertama, perlu adanya mata kuliah berprespektif gender baik secara materiil maupun formil. Untuk materiil kajiannya pada hukum dalam perspektif gender sedangkan secara formil kajiannya pada penanganan perkara di pengadilan yang mengutamakan perlindungan terhadap perempuan sebagaimana tuntutan Mahkamah Agung di dalam Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan. Kedua, menambah mata kuliah fatwa dan yurisprudensi agar mahasiswa menguasai berbagai sumber hukum formil selain undang-undang. Ketiga, memperkuat dan menambah mata kuliah teknologi dan informasi di bidang pelayanan hukum mengingat perkembangan pendaftaran perkara saat ini sudah menggunakan e-court. Saat ini tuntutan profesi hukum dan pelayanan hukum di berbagai instansi sangat mengandalkan teknologi informasi, sehingga kualitas lulusan harus menguasai teknologi dan informasi.